BUDAYA PERUSAHAAN ADAPTIF (ADAPTIVE CORPORATE CULTURE)
Saat ini teknologi informasi berkembang yang sangat cepat seperti internet dengan dunia mayanya. Perkembangan teknologi yang sangat cepat mengubah pemikiran manusia dalam berbisnis. Persaingan dunia usaha juga semakin ketat, yang menuntut perusahaan untuk meningkatkan kebutuhan usaha melalui pengelolaan organisasi yang efektif dan efisien agar organisasi berkelanjutan.
Budaya adaptif adalah budaya organisasi di mana karyawan menerima perubahan, termasuk organisasi penyelamatan yang memelihara lingkungan dan perbaikan proses internal yang berkelanjutan (McShane & Von Glinow, 2010) dalam Safitri (2019). Di era globalisasi saat ini sangat penting bagi perusahaan yang memiliki budaya adaptif. Dengan memanfaatkan perkembangan teknologi untuk promosi dan komunikasi yang bisa meningkatkan kinerja, pola pikir yang mengembangkan, dan dapat meningkatkan organisasi dengan lingkungan yang terus berkembang.
Menurut Effendi (2016), Budaya Perusahaan Adaptif adalah budaya yang memungkinkan organisasi beradaptasi dengan cepat dan efektif terhadap tekanan internal dan eksternal untuk perubahan. Budaya ini secara konsisten mendukung lingkungan psikologis positif dan akan memastikan tenaga kerja mereka akan lebih tahan terhadap stres. Tenaga kerja seperti itu akan merespons perubahan secara efektif tanpa kehilangan produktivitas. Adaptive Corporate Culture sangat memengaruhi kepercayaan, komitmen, motivasi, kekeluargaan, konsentrasi, dan keterlibatan sosial, atribut yang membentuk organisasi yang sehat secara psikologis yang berkinerja di puncaknya.
Definisi Budaya Perusahaan Adaptif
Sebuah budaya terdiri dari berbagai bahan yang semuanya membantu ke arah suasana, dan harapan yang mengelilingi tenaga kerja dan mempengaruhi sikap dan pendekatannya terhadap pekerjaan. Adaptive Corporate Culture (budaya perusahaan adaptif) dirancang dengan sengaja untuk menciptakan nada, suasana, dan harapan organisasi yang sehat secara psikologis, yang memacu tenaga kerja untuk merasa sehat secara psikologis. Budaya, juga, menggunakan kesehatan organisasi sebagai stimulus untuk kinerja puncak. Harapan budaya adaptif adalah bahwa organisasi mencapai kinerja puncak melalui peningkatan kesejahteraan psikologis tenaga kerja (Management Advisory Service, 2018).
Budaya harus memiliki pemicu yang memprovokasi individu untuk berperilaku dengan cara tertentu, dan untuk merasa bertanggung jawab atas keberhasilan organisasi di masa depan. Pemicu utama adalah: tujuan, visi, nilai-nilai budaya, nilai-nilai perusahaan, dan arsitektur. Budaya adaptif memprovokasi orang untuk merasa baik secara psikologis, dikombinasikan dengan motivasi untuk mencapai kinerja puncak, merangsang tenaga kerja untuk menjadi sangat sukses. Hasilnya adalah organisasi dan tenaga kerja yang ditandai dengan komitmen, kepercayaan, motivasi, kekeluargaan, konsentrasi, dan keterlibatan sosial. Ini adalah atribut dan perilaku yang membuat organisasi sangat sukses.
Tabel 1. Perbandingan Antara Perusahaan yang Adaptif dan Budaya Perusahaan yang Tidak Adaptif
Budaya Perusahaan yang Adaptif | Budaya Perusahaan yang Tidak Adaptif | |
Perilaku yang terlihat
|
Manajer sangat memerhatikan seluruh konsituen mereka, khususnya pelanggan, dan mengawali perubahan bila diperlukan untuk mendukung kepentingan yang terlegitimasi, meskipun harus menanggung beberpa resiko. | Manajer cenderung berperilkau tertutup, politis dan birokratis. Akibatnya, mereka tidak mengubah strategi strategi dengan cepat untuk menyesuaikan diri atau mengambil keuntungan dari perubahan dalam lingkugan bisnis. |
Nilai yang diungkapkan | Manajer sangat memerhatikan pelanggan, pemegang saham dan karyawana. Mereka juga sangat menghargai orang dan proses yang dapat menghasilkan perubahan yang bermanfaat (inisiatif kepemimpinan ke atas dan bawah dalam hierarki manajemen). | Manajer lebih memperhatikan diri sendiri, kelompok kerja yang terdekat dengan atau beberapa produk (teknologi) yang berkaitan dengan kelompok kerja. Mereka lebih menghargai proses manajemen yang teratur dan dengan resiko yang berkurang dari pada inisiatif kepemimpinan.
|
Sumber: Mukhrizal Effendi (2016).
Era globalisasi, penting menerapkan budaya adaptif dalam perusahaan
Menurut (McShane & Von Glinow, 2010) dalam Amah (2012). Budaya adaptif adalah budaya organisasi di mana karyawan menerima perubahan, termasuk organisasi penyelamatan yang memelihara lingkungan dan perbaikan proses internal yang berkelanjutan.
Saat ini teknologi informasi berkembang sangat cepat seperti internet dengan dunia mayanya. Perkembangan teknologi yang sangat cepat mengubah pemikiran manusia dalam berbisnis agar tetap berkelanjutan. Salah satu contoh dilakukan pada awal tahun 2018 oleh Presiden Direktur FIF Group, Margono Tanuwijaya dengan meluncurkan dua armada baru truk satu FIF Group atau yang disingkat Safari. ”Lingkungan Bisnis yang dinamis Diperlukan perusahaan untuk perubahan yang terjadi agar kompetitif dan bertumbuh. Dengan mengeluarkan, meluncurkan, mengeluarkan, Safari dapat dilihat sebagai salah satu strategi perusahaan,” kata Margono. “Truk Safari merupakan “saluran seluler” dengan konsep berbeda dari sebelumnya, yang telah berevolusi dan didukung multiguna”. Tuntutan persaingan dunia usaha yang ketat di era globalisasi saat ini menuntut perusahaan untuk meningkatkan kebutuhan usaha melalui pengelolaan organisasi yang efektif dan efisien. Kondisi ini menjelaskan bahwa perusahaan FIFGroup memiliki budaya adaptif.
Perusahaan FIFGoup menerapkan budaya adaptif dalam Safari yang diterapkan, konten dan aktivitas yang ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, melakukan kegiatan sosial perusahaan, serta mengedukasi masyarakat agar lebih paham mengenai layanan keuangan, di mana itu juga dilakukan dengan cara komunikasi yang baik Safitri (2019).
Menghidupkan Budaya Organisasi yang Adaptif Versi Blue Bird
Bagi perusahaan-perusahaan, teknologi benar-benar merubah cara pandang dan selera pelanggan. Kompetisi semakin ketat. Lalu apa yang harus dilakukan oleh perusahaan yang usianya sudah cukup matang untuk tetap bisa bertahan? Kuncinya ada pada budaya yang adaptif, selaras dengan kondisi eksternal dan tren yang terus bergerak. Kasus ini dialami oleh perusahaan taksi Blue Bird. Perusahaan taksi yang sudah puluhan tahun berdiri dan gagah memimpin pasar. Sekian lama menjadi andalan pelanggan, Blue Bird menghadapi turbulensi tahun-tahun belakangan karena hadirnya moda transportasi baru berbasis online. Perusahaan taksi lainnya juga mengakui bisnis taksi konvensional semakin lesu. Imbasnya, PHK massal pun tak terelakkan.
Apa yang dilakukan Blue Bird? Ternyata kuncinya cerdik membidik potensi dan menggerakkan kolaborasi. Jika perusahaan armada taksi lain kalah saing, Blue Bird justru ambil langkah menjalin kerjasama baik dengan sang kompetitor. Kerjasamanya dengan Go-Car pada aplikasi Go-Jek menjadi bukti. Pengguna layanan Go-Car pun bisa dijemput dengan taksi Blue Bird dengan tarif sama. Terobosan lainnya adalah Blue Bird bekerjasama dengan Kementerian Pariwisata. Layanan Blue Bird yang tersebar di banyak kota besar Indonesia berpotensi membantu misi Kemenpar untuk mempromosikan pariwisata Indonesia. Armada Blue Bird diberikan stiker ‘Wonderful Indonesia’ dan peletakan majalah Mutiara Biru yang mengekspos keindahan Indonesia.
Para pengemudi, terlebih di Bandara juga diberdayakan untuk memiliki pengetahuan mengenai destinasi pariwisata setempat. Langkah ini mengangkat peran driver, tak hanya sekedar mengemudi namun menjadi ‘Service Ambassador’ karena menjadi orang pertama yang melayani turis setibanya di bandara. Kolaborasi yang jeli dan menguntungkan kedua pihak. Apa yang dilakukan Blue Bird menjadi bukti nyata jika budaya organisasi perlu terus diperbarui. Memegang nilai-nilai organisasi, sambil terus menyelaraskannya dengan tren dan kondisi saat ini. Agar mampu efektif, budaya organisasi yang adaptif juga harus mampu disampaikan ke seluruh elemen karyawan. Diterjemahkan menjadi kinerja perilaku yang berdampak pada kinerja organisasi, dan mampu untuk dievaluasi berkala (Febrianindya, 2018).
Contoh lain yang juga sering dibahas pada awal tahun dua ribuan adalah penjualan tiket pesawat AirAsia yang hanya menggunakan internet, tidak melalui agen penjualan tiket pada umumnya. Pada awalnya banyak pihak yang meragukan cara penjualan tiket yang hanya menggunakan website. Namun justru karena keberadaan website sebagai satu-satunya media penjualan, AirAsia berhasil menerapkan konsep Low Cost Carrier yang efektif sekaligus menarik minat pembeli sejak satu tahun sebelumnya. Kemampuan untuk memangkas perantara telah berhasil menurunkan biaya secara signifikan.
Harga tiket yang murah namun meningkat secara bertahap sesuai dengan ketersediaan kursi dan promosi yang dilangsungkan secara real time berhasil membuat penumpang dari berbagai negara rela berburu tiket setelah jam 12 malam dengan jadwal terbang satu tahun sesudahnya. Makanan di dalam pesawat yang semula menjadi beban bagi maskapai penerbangan, bisa menjadi pendapatan bagi perusahaan bahkan sejak penumpang belum masuk pesawat. Begitu pula dengan posisi kursi yang dapat dipilih dengan menambahkan biaya tertentu. Selain itu, penumpang juga diminta untuk melakukan check-in dan mencetak boarding pass secara mandiri. Dengan begitu, tenaga dan lama kerja petugas yang melayani check-in, serta antrian penumpang dapat dikurangi.
Penggunaan tenaga dari maskapai penerbangan lain untuk melayani check-in terbukti lebih murah dibandingkan merekrut tenaga dari Indonesia atau merekrut tenaga lokal sebagai karyawan tetap yang melayani check-in. Namun panjangnya antrian dan lamanya mereka bekerja pada saat pelayanan check-in berpengaruh terhadap besarnya biaya yang harus dikeluarkan dalam setiap jamnya. Dengan mempersingkat waktu layanan melalui keterlibatan dan partisipasi konsumen secara mendiri melalui layanan self check-in, maskapai penerbangan dapat menekan biaya tenaga kerja yang harus dan meningkatkan efisiensi, terutama bagi low cost carrier. Bahkan saat ini sudah banyak maskapai penerbangan yang rela melakukan investasi pada kiosk untuk layanan check-in secara mandiri karena terbukti dapat menekan biaya, sekaligus membangun kesan handal dalam layanan elektronik.
REFERENSI
Amah, Edwinan. (2012). Corporate Culture and Organizational Effectiveness: A Study of the
Nigerian Banking Industry.
Effendi, Muhrizal (2016). Budaya Perusahaan yang Adaptif. Diunduh dari
https://www.slideshare.net/banditznero/kuliah-12-budaya-organisasi
Flora Febrianindya, Flora. (2018). Diunduh dari https://ppm-manajemen.ac.id/id_ID/acara-17/post/menghidupkan-budaya-organisasi-yang-adaptif-versi-blue-bird-1556
Management Advisory Service. (2018). Adaptive Corporate Culture. Diunduh dari https://www.mas.org.uk/wellbeing-performance/adaptive_corporate_culture.html
Safitri, Erisca Melia (2019). Diunduh dari
Comments :